Pagi itu saya dan istri tidak sengaja menonton acara infotainment disebuah stasiun TV swasta ternama. Dalam acara itu mengisahkan tentang liputan perjalanan wisata syahrini di Bali. Sangat eksotis sekali dan membuat kita yang menonton berasa ingin ketempat itu. Disela-sela penayangan kami kemudian berbincang-bincang kecil mengomentari isi liputan tersebut.
" Enak ya jadi artis! " Sahut saya
"Emang kenapa?" tanya istri saya
"Ya enak! Cuma nyanyi dua lagu dibayar ratusan juta!. Nah, jadi guru mengoceh di depan kelas puluhan menit cuma dibayar ratusan perak" Saya berkata dan dilanjutkan dengan ketawa kecil.
Istri saya tersenyum kecil. Dia seolah mengiyakan pernyataan saya, Juga seolah tidak mengiyakan pernyataan itu.
"Orang itu lebih suka dihibur daripada dididik. Makanya bayaran artis itu mahal" Celoteh istri saya. Saya tertegun dan mencerna apa yang dikatakan istri saya. Saya menggarisbawahi kata-kata istri saya "Orang itu lebih suka dihibur daripada dididik".
Benar sekali apa yang dikatakan oleh istri saya. Menonton konser mega bintang akan terasa lebih menyenangkan sekali bila dibandingkan mengikuti pelajaran disekolah maupun dikampus walau si guru atau dosen adalah pendidik yang sangat menyenangkan. Tidak bisa dipungkiri memang bahwa kodrat manusia lebih suka dihibur daripada dididik.
Saya selaku guru sering merasa miris ketika mengdengar keluh kesah murid yang sudah tidak betah sekolah. Mereka merasa berat dengan tugas, PR maupun ulangan-ulangan yang rutin digelar. Pendidikan seolah menjadi monster menakutkan bagi mereka. Pendidikan sudah tak menarik lagi hati mereka. Pendidikan hanya kata formal untuk menjalani hidup. Nilai menjadi tujuan yang sangat diagung-agungkan.
Jika sudah seperti ini berarti ada yang keliru dengan dunia pendidikan khususnya di Indonesia. Kurikulum yang ada boleh dibilang terlalu berat dan menjadi beban tersendiri baik untuk siswa, guru dan sekolah. Tapi apa boleh buat, pelaksanaan pendidikan harus terus berjalan. Tidak bisa tidak.
Menurut saya, Pendidikan itu harus menghiburan yang menyenangkan. Bagaimana caranya? Titik pangkalnya adalah terletak pada gurunya. Guru seharusnya bisa menjadi edutainment yang membuat murod-muridnya menunggu setiap sepak terjangnya dikelas. Dirindukan murid-muridnya dan merubah citra mendidik yang terkesan kaku menjadi lebih menyenangkan, ibarat mereka sedang menonton sebuah pertunjukan spektakuler dan mengagumkan. Tidak ada kata susah untuk menjadi seperti itu. Ingat "Mengajar adalah sebuah seni, Bukan kegiatan mengolah Akal" .
Jika kita cermati, pendidikan memiliki esensi yang sangat dalam ketimbang hiburan. Esensi hiburan hanya untuk imembuat puas, sedang pendidikan adalah pondasi kokoh dalam kehidupan. Orang-orang yang bergerak dalam dunia hiburan takkan sukses jika tidak ditopang oleh keberdaan pendidikan. Jepang adalah contoh sukses berkat mengutamakan pendidikan warganya.Ketika kota Nagasaki dan Hirosima di bombardir oleh bom atom. Apa yang ditanyakan oleh kaisar? Kaisar tidak menanyakan berapa jumlah tentara, melainkan berapa jumlah guru yang masih hidup. Jepang adalah negara termasyur berkat pendidikan hingga kini. Itu karena rakyatnya mengutamakan pendidikan.
Kita???
Saya suka sekali dengan kalimat "Mengajar adalah sebuah seni, Bukan kegiatan mengolah Akal".
BalasHapusSemangat terus Pak guru, bukan selebriti yang memajukan bangsa, melainkan sosok guru yang mampu menghibur sekaligu mendidik. :)